Film Civil War 2024 – Amerika Serikat, negara yang selama ini di gadang-gadang sebagai simbol demokrasi dan persatuan, kini menjadi panggung kehancuran dalam film Civil War (2024) garapan Alex Garland. Bukan fiksi superhero. Bukan perang antar dunia. Ini adalah narasi brutal yang terasa seperti cermin dari kenyataan: bangsa adidaya ini terbakar dari dalam, bukan karena invasi asing, tetapi oleh rakyatnya sendiri.
Dalam film ini, yang di gambarkan adalah Amerika yang telah runtuh sebagai satu kesatuan. Beberapa negara bagian memberontak. Texas dan California bersatu membentuk kekuatan yang slot bet kecil menentang pemerintah pusat. Gedung Putih jadi sasaran. Presiden menjadi simbol dari pemerintahan otoriter yang tak lagi di percaya rakyatnya. Adegan demi adegan menggambarkan chaos, bukan hanya di medan tempur, tetapi juga dalam identitas nasional Amerika itu sendiri.
Sinopsis Lengkap Tentang Film Civil War 2024
Film ini memilih pendekatan yang tidak biasa. Penonton di bawa masuk melalui lensa para jurnalis. Bukan tentara. Bukan politisi. Tapi para pemburu kebenaran yang kini justru menjadi saksi hidup dari neraka yang di ciptakan bangsanya sendiri.
Kirsten Dunst, dengan penampilan dingin dan penuh luka batin, berperan sebagai jurnalis veteran yang menembus garis pertempuran bukan demi rating, tapi demi sebuah keharusan: mengabadikan kebenaran. Ia dan tim kecilnya melintasi reruntuhan kota, mendokumentasikan tubuh-tubuh berserakan, warga sipil yang memohon bantuan, dan milisi bersenjata yang tidak kenal ampun. Kamera mereka menjadi saksi yang tidak bisa di bungkam.
Kengerian yang di tampilkan tidak dibuat-buat. Garland berhasil menciptakan atmosfer dokumenter yang memaksa kita bertanya: “Bagaimana jika ini benar-benar terjadi?” Kamera bergerak labil, suara ledakan dan jeritan bercampur tanpa filter. Film ini bukan hanya tontonan, tapi peringatan.
Baca Berita Lainnya Juga Hanya Di ifsnederland.com
Demokrasi Mati, Kekuasaan Diambil Paksa
Satu hal yang membuat Civil War begitu mengganggu adalah ketidakhadiran solusi. Tidak ada pahlawan. Tidak ada akhir bahagia. Hanya kehancuran yang di perlihatkan secara telanjang. Pemerintah pusat, yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi, justru menjadi entitas represif yang menembaki rakyatnya sendiri. Bahkan perbedaan pandangan politik berubah menjadi dalih untuk saling membunuh.
Tidak ada jalan tengah. Tidak ada kompromi. Yang tersisa hanyalah kebencian, propaganda, dan senjata. Film ini seperti menggambarkan mimpi buruk liberalisme yang gagal. Ketika semua merasa benar, dan tak ada yang mau mengalah, negara pun ambruk.
Gambaran Realitas yang Terlalu Dekat
Yang membuat film ini makin mencengangkan adalah kemiripannya dengan kondisi dunia nyata. Amerika saat ini memang sedang terpecah. Polarisasi politik, supremasi kulit putih, milisi bersenjata, hingga ketidakpercayaan pada media dan institusi hukum semuanya nyata. Garland hanya membesarkan volume, menambah darah dan api.
Ketika Capitol Hill di serbu tahun 2021, dunia tercengang. Dalam Civil War, insiden semacam itu bukan lagi outlier, tapi menjadi keseharian. Kita menyaksikan warga biasa berubah menjadi kombatan. Kita melihat negara demokratis berubah menjadi zona perang. Dan yang paling mengerikan? Kita tahu, ini bukan mustahil terjadi.
Jurnalisme yang Berjalan di Atas Abu
Di tengah segala kehancuran, para jurnalis dalam film ini tidak hanya merekam. Mereka juga merenung. Apa arti objektivitas ketika dunia tak lagi mengenal benar atau salah? Bagaimana mungkin mereka hanya menjadi penonton saat rakyat sipil di bantai di depan mata? Mereka di lema, terkoyak antara tugas moral dan ketakutan pribadi. Tapi tetap berjalan, tetap merekam, meski tahu bahwa gambar-gambar itu mungkin tidak akan pernah di siarkan.
Ketegangan ini menghidupkan kembali peran jurnalis sejati. Bukan sebagai pemoles narasi, tapi sebagai saksi zaman. Bahkan ketika dunia runtuh, suara mereka tetap di butuhkan meskipun kadang hanya untuk membuktikan bahwa semuanya pernah terjadi.