Review Film: Pembantaian Dukun Santet – Teror Mistis yang Mencekik dan Membakar Nalar

Review Film – Review Film Pembantaian Dukun Santet tak membuang waktu untuk basa-basi. Sejak menit pertama, penonton langsung dilempar ke dalam atmosfer pekat, gelap, dan menjijikkan yang dibangun dari jeritan manusia, suara gamelan yang terdistorsi, dan sorotan kamera yang menggigilkan bulu kuduk. Di sebuah desa yang seolah tak tercatat di peta, review film bayang-bayang teror bukan datang dari monster, tapi dari wajah-wajah manusia yang ditelan kebencian dan dendam.

Dari awal, penonton di paksa untuk menyaksikan ritual kelam: seorang wanita muda, diikat, tubuhnya di lumuri minyak, di bacakan mantra, lalu tubuhnya di bakar hidup-hidup di bawah bulan purnama. Kamera tidak menoleh. Ia menatap dengan kejam, memperlihatkan kulit yang melepuh, suara teriakan yang pecah, dan sorot mata para ‘penyihir’ kampung yang penuh kebanggaan sadis.

Cerita yang Menggores: Dukun, Dosa Lama, dan Neraka Desa

Plot film ini menggali dalam-dalam luka kolektif sebuah desa yang hidup dalam ketakutan akan ilmu hitam. Tokoh utamanya, Bagas, seorang jurnalis muda yang awalnya hanya ingin menelusuri jejak dukun santet demi sebuah artikel, justru terjebak dalam lubang kegelapan yang lebih dalam dari yang ia bayangkan. Ia menemukan bahwa desa yang ia datangi tidak hanya menyimpan kisah-kisah santet, tapi juga sejarah panjang pembantaian, penindasan, dan paranoia yang di wariskan turun-temurun.

Narasi di bangun lambat, tapi tidak pernah membosankan. Setiap percakapan, tatapan mata warga, suara angin yang melolong di balik dedaunan—semuanya mengandung ancaman terselubung. Tidak ada yang benar-benar hidup. Bahkan mereka yang bernapas, seakan sudah separuh mati karena di hantui dosa dan kutukan masa lalu.

Visual yang Brutal dan Tidak Minta Maaf

Sinematografi Pembantaian Dukun Santet tidak mencari keindahan, tapi kejujuran dalam kebrutalan. Kamera bermain kasar: close-up wajah penuh luka, shot panjang tubuh tergantung di pohon, dan slow motion darah yang menyembur seperti air mancur dari dunia lain. Warna dominan merah dan hitam menciptakan dunia yang menyesakkan, di mana tidak ada cahaya, hanya bara dendam.

Satu adegan yang menghantam keras adalah ketika Bagas menemukan ruang bawah tanah berisi jasad-jasad wanita yang di bakar, di sayat, dan di tulisi mantra dengan darah. Cahaya dari senter bergetar, dan suara tangisan samar bergema dari dinding tanah. Di momen itu, penonton bukan hanya takut—mereka merasa kotor. Seolah menjadi saksi dari kebiadaban yang seharusnya tidak pernah di lihat.

Akting yang Meledak-ledak dan Penuh Luka

Para pemeran tampil dengan intensitas slot. Rio Dewanto sebagai Bagas menunjukkan evolusi yang meyakinkan: dari skeptis menjadi histeris. Namun sorotan utama jatuh pada Rini Kusmiati yang memerankan Mak Midah, dukun tua yang menjadi pusat mitos dan ketakutan. Rini tidak berakting—dia berubah. Setiap kalimat yang ia ucapkan terdengar seperti kutukan. Setiap gerak tubuhnya seperti ritus pemanggil iblis.

Dialog dalam film ini tidak banyak, tapi setiap kata yang keluar seperti senjata tajam. Seringkali hening justru lebih mematikan daripada teriakan. Karena di balik diam, ada rahasia yang siap meledak.

Teror Budaya: Mistisisme Lokal yang Diperkuat, Bukan Dikarikaturkan

Yang membuat film ini mengguncang bukan hanya darah dan sadisme, tapi bagaimana ia memotret budaya mistik Indonesia dengan lensa yang tidak memihak. Dukun santet bukan hanya antagonis murahan—mereka adalah produk dari lingkungan, dari trauma kolektif, dari sistem yang membunuh sebelum menyelidiki. Ritual-ritual yang di gambarkan tidak terasa di buat-buat. Semuanya berdasarkan kenyataan sosial: dari kemiskinan, pendidikan rendah, hingga kepasrahan athena slot terhadap hal-hal gaib karena keputusasaan.

Film ini seperti menampar wajah kita sendiri: bahwa horor terbesar di negeri ini bukan dari luar, tapi dari dalam. Dari tetangga yang curiga, dari tokoh agama yang memanipulasi, dari sejarah yang di sembunyikan. Pembantaian Dukun Santet adalah cermin—retak, berdarah, dan mengerikan.